BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Dalam Al-quran menjelaskan, bahwa manusia mempunyai naluriah dan
ketertarikan terhadap lawan jenis. Untuk mengetahui sejauh mana kebaikan hukum
perkawinan dalam Islam, perlu dilihat antara lain bagaimana sikap Islam
mengenai monogami dan poligami, karena masih saja ada anggapan bahwa hukum
Islam, khususnya mengenai perkawinan, tidak dianggap adil sehubungan dengan
sikap Islam itu yang membolehkan pria menikah dengan wanita lebih dari satu
atau satu orang saja. Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (adz-Dzaariyaat:49). Al-Qur’an
menjelaskan bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai
keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat
menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan
yang sama.
Karena masih banyak yang
menganggap hukum Islam itu tidak adil sehubungan dengan sikap Islam yang
membolehkan kaum pria menikah dengan wanita, lebih dari satu dan jika ditinjau
kembali poligami menimbulkan banyak kemudaratan yang ditimbulkan karena seorang
pria berlaku tidak adil atau lain sebagainya. Oleh karena itu kamu sebagai
penulis makalah ini akan menjelaskan masalah poligami dan monogami.
b.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
poligami dan monogami
2.
Segi
positif dan negatif masalah poligami dan monogami
3.
Poligami
dan monogami dalam perundang-undangan
4.
Pandangan
Islam terhadap Poligami dan monogami
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masalah
Poligami dan Monogami
1.
Pengertian
Poligami dan monogami
Istilah poligami berasal dari Bahasa Inggris “polygamy” dan disebut
تَعَدُّ دُالزَّوْجَاتِ dalam hukum islam
yang berarti beristri lebih dari seorang wanita.[1] Sedangkan
monogami adalah Monos berarti satu dan gamos berarti perkawinan. Monogami
adalah suatu sistem perkawinan dimana hanya mengawini satu istri saja.
2.
Monogami
dan Poligami Menurut Perundang-Undangan
Berdasarkan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, maka Hukum Perkawinan
di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide
pasal 3 (1) UU No. 1/1974). Hanya apabila dikendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun diizinkan oleh pihak-pihak
bersangkutan, hanya dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[2]
B.
Masalah
poligami dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
a.
Beristri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
istri.
b.
Syarat
utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri dan anak-anaknya.
c.
Apabila
syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristri dari seorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
a.
Suami
yang beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
b.
Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pada pasal 57 disebutkan
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri
lebih dari seorang apabila :
a.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajban sebagai istri.
b.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Istri
tidak dapat menghasilkan keturunan.
Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan
yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1),
yaitu :
a.
Adanya
persetujuan istri
b.
Adanya
kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
Untuk memperoleh izin dari
Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2),
ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
a.
Adanya
persetujuan istri
b.
Adanya
kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.[3]
C.
Sejarah
dan Jenis Poligami atau paling tepatnya poligini, ada di setiap zaman. Sebelum
Nabi Muhammad tampil ke muka bumi. Poligami ini telah di lakukan oleh
orang-orang Arab, orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan bangsa-bangsa
lainnya di Dunia.[4]
Di dalam masyarakat manusia terdapat beberapa bentuk poligami, yaitu seorang
wanita memiliki banyak suami (poliandri), gabungan antara poligami dan
poliandri, serta seorang suami yang memiliki banyak istri (poligami). Di
samping itu ada peraturan suami istri tunggal (Monogami) dan juga free sex yang
melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki tanpa perkawinan yang sah. Diantaranya
tiga macam poligami tersebut yaitu:
1.
Seorang
Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri) Dalam sistem perkawinan poliandri,
banyak laki-laki mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang
diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara
India dan di berbagai wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh
mengawini bersama seorang wanita. Didalam komunitas masyarakat india, seorang
wanita boleh memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh
bersuami lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan
bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Sejarah telah mencatat
bahwa perkawinan seperti itu telah berkembang dalam masyarakat Arab sebelum
Islam. Hal itu jelas tersurat dalam riwayat berikut ini: “Diceritakan dari
Aisyah: kelompok laki-laki yang kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini)
seorang wanita.”[5]
2.
Gabungan
Poligami Dengan Poliandri Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan
poliandri terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan
tertentu dari wanita sebagai suami istri dengan hak yang diakui antara mereka.
Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat
daerah pegunungan Tibet, pegunungan Himalaya India, dan Australia. Di
daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki yang menggauli
adik dan kakak sendiri.
Perkawinan tersebut mereka namai sebagai perkawinan persaudaraan
yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a.
Diperbolehkan
laki-laki mengawini beberapa wanita baik saudaranya sendiri maupun orang lain.
b.
Diperbolehkan
seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi persaudaraan seperti yang
terjadi di kepulauan polinesia dan India. Di selatan India, yaitu di masyarakat
suku Taudan, jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka dia
sekaligus menjadi istri dari adik adik-adik suaminya. Dan mereka sekaligus
menjadi suami adik-adik wanita tersebut.
3.
Seorang
Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami) Peraturan perkawinan poligami sudah
dikenal sebelum islam di setiap masyarakat yang beradapan tinggi maupun
masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam
hal ini, seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan dari seorang istri.
Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat cina, India,
Mesir, Arab Persia, Yahudi, sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss,
Austria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Borwegia, dan lain-lain. Sementara
itu bangsa Arab dan yahudi melaksanakan poligami dalam ruang lingkup yang luas
dan tidak membatasi jumlahnya. Contoh Sebuah gambaran praktik poligami di
beberapa Negara sebagai berikut. Di Cina suami berhak mengawini seorang atau
beberapa wanita jika ternyata istri yang pertama tidak dapat memberikan anak
(mandul) karena bagi mereka anak adalah tumpuan harapan yang dapat mewarisi
berbagai hal setelah ayahnya meninggal dunia. Namun seorang istri menempati
kedudukan tertinggi dan dominan istri-istri lainnya tunduk kepada istri
pertama. Di India parktik poligami sangat dominan terutama di kalangan
kerajaan, pembesar, atau orang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan
peraturan alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau terlalu
emosional. Dikalangan bangsa Mesir kuno poligami dianggap hal yang wajar
asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak
kepada istri pertama jika nanti suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah
lagi, dia terkena peraturan yang berlaku. Anggapan bangsa timur kuno, seperti
Babilonia, Madyan, atau Siria poligami merupakan perbuatan suci karena para
raja dan penguasa yang menempati posisi suci dalam hati mereka juga melakukan
poligami. Selain itu praktik poligami pun dikenal di kalangan Arab sebelum
Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa
ikatan maupun syarat. Di dalam sunan Turmudzi disebutkan bahwa Ghailan bin
Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk islam memiliki sepuluh orang istri. Masyarakat
yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas jumlah wanita yang dinikahinya. Di
dalam taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri
wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak, dan Nabi Daud a.s.
memiliki 99 orang istri. Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik poligami
banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi.
Poligami jarang terjadi di kalangan masyarakat yang terbelakang karena mereka
telah terbiasa memiliki satu istri (monogami)., terutama yang pekerjaannya
berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan ulama berpendapat bahwa
poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan budaya dan peradaban suatu
masyarakat.[6]
D.
Beberapa
Pendapat Mengenai Poligami
Para ulama ortodoks berpendapat
bahwa poligami adalah bagian dari syarat islam dan karena itu pria boleh
memiliki istri hingga empat orang. Bahkan tanpa perlu alasan apapun. Di lain
pihak, kaum modernis dan pejuang hak-hak asasi wanita berhadapan bahwa poligami
diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa
keadilan bagi semua istri.[7]
Jadi menurut pendapat para ulama ortodok
ini poligami dibolehkan tanpa melihat bagaimana cara berpoligami yang benar
menurut mereka seorang pria boleh berpoligami tanpa melihat alasanya kenapa
berpoligami, menurut saya mereka berpoligami cuma hanya ingin memperbanyak
istri dan tidak melihat hak hak-hak asasi wanita. Dan menurut pendapat kaum
modernis berpoligami ini boleh dengan syarat seorang suami harus adil kepada
semua istri yang sudah dinikahinya, seorang pria tidak bisa begitu saja
mengambil lebih dari satu istri hanya karena dia menyukai wanita lain atau
jatuh cinta dengan kecantikannya. Mereka juga berpendapat bahwa norma Al-Qur`an
sesungguhnya adalah monogami tetapi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan
tertentu, itu pun, sekali lagi, disertai persyaratan keadilan yang sangat
ketat.[8] Pejuang
hak-hak wanita juga berpendapat bahwa pria tidak diciptakan oleh Allah sebagai
hewan seksual semata sehingga dia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya
selama istrinya mengalami menstruasi atau nifas.
Islam memandang poligami lebih banyak
membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu menurut
fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak
tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan
keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber
konflik dalam kehidupan berumah tangga, baik konflik antara suami dengan
istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri
beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan
menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah
menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan
keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis,
orang akan mudah peka terhadap perasaan cemburu, iri hati, dan suka mengeluh
dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan dan dapat pula
membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila
dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam,
anak itu merupakan salah satu dari human investment yang sangat berguna bagi
manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah
dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Ayat-ayat
Al-Quran yang berkaitan dengan masalah monogami dan poligami dalam surat
An-Nisa ayat 2-3
وَءَاتُواْالْيَتَمَى
أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْالْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَتَأْكُلُو
اأَمْوَلَهُمْ إِلَىَ أَمْوَلِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيْرًا (۲)
Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka jangan kamu menukar yang bak dengan yang buruk
dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ اُقْسِطُواْ فِى
الْيَتَمَى فَا نْكِحُواْ مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِمَثْنَى
وَثُلَثَوَرُبَعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِ لُواْ فَوَحِدَةًأَوْمَلَكَتْ
أَيْمَنُكُمْ ذَالِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُلُوا(۳)
Artinya : dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila mana kamu
mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain. Yang kamu senangi: dua tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka
kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Asy-Syekh
Tbanthaawy Jauhary berpendapat dalam kitab Tafsirnya: mengemukakan hasil
penelitian penulis inggris dimasa itu, yang mengatakan bahwa orang-orang muslim
yang bermukim di Benua Afrika, banyak yang memiliki istri lebih dari 10 orang,
dengan pendapatan yang sangat minim. Masing-masing istri itu mempunyai banyak
anak, padahal kadang-kadang tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka
penulis tersebut menganggapnya seperti kehidupan ayam. Kalau ada diantara orang
muslim yang berpoligami lebih dari empat orang, dan apalagi kalau ekonominya
lemah, maka hal tersebut adalah orang yanag menyeleweng dari ajaran islam. Bahkan
Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhari sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih
dari satu orang, sedangkan status ekonominya lemah.
E.
Segi
positif dan negatif poligami dan monogami
·
Oleh
karena itu, perlu dikemukakan disini hikmah dibolehkannya poligami dalam islam
; antara lain :
1.
Untuk
memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari istri kedua karena
istri pertama mandul.
2.
Untuk
menghindari laki-laki dari berbuat zina.
3.
Untuk
memberikan kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapat suami yang
berfungsi untuk melindunginya, memberi nafkah hidup serta melayani kebutuhan
biologisnya
4.
Untuk
menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan, agar
tidak merasa kesepian.[9]
·
Dampak
Negatif Poligami Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat
dampak negatif poligami, di antaranya:
1.
Poligami
dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.
2.
Menimbulkan
rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan
adil.
3.
Anak-anak
yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya
perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
4.
Kekacauan
dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk
poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.[10]
·
Segi
positif monogami adalah :
1.
Rumah
tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
2.
Tidak
memiliki rasa cemburu atau iri hati terhadap suami.
F.
Hukum
Poligami
Sepakat Ulama
Madzhab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan
rumah tangga, maka diperbolehkan poligami sampai 4 istri yang sudah dijelaskan
didalam Al-qur’an surat An-nisaa ayat 3
Adapun poligami
yang lebih dari pada itu, menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama hukum
islam antara lain:
1)
Ada
suatu golongan Ulama Hukum Islam yang mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki
Muslim memiliki istri 9 orang dengan mengemukakan dua alasan:
a)
Mengikuti
sunnah Nabi, dimana beliau memiliki 9 istri
b)
Hurug
وَاوُ pada
ayat 3 dari surat An-Nisaa difahaminya dengan وَاوُ
لِلْجَمْع (penjumlahan).
Maka rumusnya adalah 2 + 3 + 4 = 9.
2)
Sebagian
penganut Madzhab Ash-Zahahiry mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki muslim
beristri sampai 18 orang. Alasan tersebut dikemukakan oleh Imam Al-Quthuby
dalam Tafsirnya berbunyi:
Artinya : juga pendapat sebagian penganut Madzhab Ash-Shaarhiri
yang mengatakan, bahwa boleh beristri sampai 18 orang; karena berpegang (pada
alasan) bahwa kata bilangan pasa kalimat tersebut, mengandung pengertian untuk
penjumlahan.
Jadi
pendapat tersebut, diatas, dapat dirumuskan sebagai berikut: ( 2 + 2 ) +
( 3 + 3) + ( 4 + 4 ) = 18. Dan jelas
pula bahwa pendapt ini tidak menerima keterangan hadits yang membetasi 4 orang
istri. Oleh karena itu, kami sebagai penulis tidak sepakat dengan hal ini,
tetapi kami mengambil pendapat Imam Madzhab diatas.[11]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari makalah dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya asas perkawinan
baik menurut Islam maupun peraturan perundang-undangan adalah monogami.
Poligami semata-mata hanyalah sebagai suatu alternatif darurat yang dalam
pelaksanaannya pun membutuhkan kebijaksanaan dan kemampuan suami untuk berbuat
adil serta terlebih dahulu perlu adanya persetujuan dari pihak terkait yaitu
seorang istri. Dalam makalah ini kami juga membahas tentang hikmah dan manfaat
dari berpoligami dan monogami. dan menjelaskan pengertian dari poligami dan
monogamy menurut pandangan islam.
DAFTAR PUSTAKA
Aj-Jahrani, Musfir, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Fikri, Abu, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, 2007
Hasan,
M. Ali, Masail Fiqyah al-Haditsah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Mahjuddin,
Masailul Fiqhiyah, Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Wibisono, Yusuf, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa,
Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zuhdi, Masjuk. Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT Midas Surya
Grafindo, 1993.
[1]
Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 59-60
[3] M. Ali Hasan, Masail
Fiqyah al-Haditsah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 18
[4] Yusuf
Wibisono, 1980, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa, Jakarta:
Bulan Bintang, Hlm 47
[5] Musfir
Aj-Jahrani,1997, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani
Press. Hlm. 33
[6] Ibid.,
Hlm. 37
[7] Abu Fikri,
2007, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, hlm. 68
[9] Mahjuddin,
Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 60-62
[10] Amiur Nuruddin
dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), hal. 161
[11] Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm. 62-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar