Jumat, 23 Oktober 2015

Masalah Poligami dan Monogami



BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang Masalah
Dalam Al-quran menjelaskan, bahwa manusia mempunyai naluriah dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Untuk mengetahui sejauh mana kebaikan hukum perkawinan dalam Islam, perlu dilihat antara lain bagaimana sikap Islam mengenai monogami dan poligami, karena masih saja ada anggapan bahwa hukum Islam, khususnya mengenai perkawinan, tidak dianggap adil sehubungan dengan sikap Islam itu yang membolehkan pria menikah dengan wanita lebih dari satu atau satu orang saja. Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (adz-Dzaariyaat:49). Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama.
 Karena masih banyak yang menganggap hukum Islam itu tidak adil sehubungan dengan sikap Islam yang membolehkan kaum pria menikah dengan wanita, lebih dari satu dan jika ditinjau kembali poligami menimbulkan banyak kemudaratan yang ditimbulkan karena seorang pria berlaku tidak adil atau lain sebagainya. Oleh karena itu kamu sebagai penulis makalah ini akan menjelaskan masalah poligami dan monogami.
b.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian poligami dan monogami
2.      Segi positif dan negatif masalah poligami dan monogami
3.      Poligami dan monogami dalam perundang-undangan
4.      Pandangan Islam terhadap Poligami dan monogami


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masalah Poligami dan Monogami
1.      Pengertian Poligami dan monogami
Istilah poligami berasal dari Bahasa Inggris “polygamy” dan disebut تَعَدُّ دُالزَّوْجَاتِ dalam hukum islam yang berarti beristri lebih dari seorang wanita.[1] Sedangkan monogami adalah Monos berarti satu dan gamos berarti perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan dimana hanya mengawini satu istri saja.
2.      Monogami dan Poligami Menurut Perundang-Undangan
Berdasarkan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, maka Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU No. 1/1974). Hanya apabila dikendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun diizinkan oleh pihak-pihak bersangkutan, hanya dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[2]
B.     Masalah poligami dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
a.       Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
b.      Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
c.       Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
a.       Suami yang beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
b.      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pada pasal 57 disebutkan Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajban sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.[3]

C.     Sejarah dan Jenis Poligami atau paling tepatnya poligini, ada di setiap zaman. Sebelum Nabi Muhammad tampil ke muka bumi. Poligami ini telah di lakukan oleh orang-orang Arab, orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan bangsa-bangsa lainnya di Dunia.[4] Di dalam masyarakat manusia terdapat beberapa bentuk poligami, yaitu seorang wanita memiliki banyak suami (poliandri), gabungan antara poligami dan poliandri, serta seorang suami yang memiliki banyak istri (poligami). Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal (Monogami) dan juga free sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki tanpa perkawinan yang sah. Diantaranya tiga macam poligami tersebut yaitu:
1.      Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri) Dalam sistem perkawinan poliandri, banyak laki-laki mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di berbagai wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini bersama seorang wanita. Didalam komunitas masyarakat india, seorang wanita boleh memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Sejarah telah mencatat bahwa perkawinan seperti itu telah berkembang dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Hal itu jelas tersurat dalam riwayat berikut ini: “Diceritakan dari Aisyah: kelompok laki-laki yang kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini) seorang wanita.”[5]
2.      Gabungan Poligami Dengan Poliandri Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari wanita sebagai suami istri dengan hak yang diakui antara mereka. Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat daerah pegunungan Tibet, pegunungan Himalaya India, dan Australia. Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki yang menggauli adik dan kakak sendiri.
Perkawinan tersebut mereka namai sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a.       Diperbolehkan laki-laki mengawini beberapa wanita baik saudaranya sendiri maupun orang lain.
b.      Diperbolehkan seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan polinesia dan India. Di selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari adik adik-adik suaminya. Dan mereka sekaligus menjadi suami adik-adik wanita tersebut.
3.      Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami) Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum islam di setiap masyarakat yang beradapan tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat cina, India, Mesir, Arab Persia, Yahudi, sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Borwegia, dan lain-lain. Sementara itu bangsa Arab dan yahudi melaksanakan poligami dalam ruang lingkup yang luas dan tidak membatasi jumlahnya. Contoh Sebuah gambaran praktik poligami di beberapa Negara sebagai berikut. Di Cina suami berhak mengawini seorang atau beberapa wanita jika ternyata istri yang pertama tidak dapat memberikan anak (mandul) karena bagi mereka anak adalah tumpuan harapan yang dapat mewarisi berbagai hal setelah ayahnya meninggal dunia. Namun seorang istri menempati kedudukan tertinggi dan dominan istri-istri lainnya tunduk kepada istri pertama. Di India parktik poligami sangat dominan terutama di kalangan kerajaan, pembesar, atau orang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan peraturan alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau terlalu emosional. Dikalangan bangsa Mesir kuno poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang berlaku. Anggapan bangsa timur kuno, seperti Babilonia, Madyan, atau Siria poligami merupakan perbuatan suci karena para raja dan penguasa yang menempati posisi suci dalam hati mereka juga melakukan poligami. Selain itu praktik poligami pun dikenal di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam sunan Turmudzi disebutkan bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk islam memiliki sepuluh orang istri. Masyarakat yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas jumlah wanita yang dinikahinya. Di dalam taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak, dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri. Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami jarang terjadi di kalangan masyarakat yang terbelakang karena mereka telah terbiasa memiliki satu istri (monogami)., terutama yang pekerjaannya berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat.[6]

D.    Beberapa Pendapat Mengenai Poligami
Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami adalah bagian dari syarat islam dan karena itu pria boleh memiliki istri hingga empat orang. Bahkan tanpa perlu alasan apapun. Di lain pihak, kaum modernis dan pejuang hak-hak asasi wanita berhadapan bahwa poligami diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa keadilan bagi semua istri.[7] Jadi menurut pendapat para  ulama ortodok ini poligami dibolehkan tanpa melihat bagaimana cara berpoligami yang benar menurut mereka seorang pria boleh berpoligami tanpa melihat alasanya kenapa berpoligami, menurut saya mereka berpoligami cuma hanya ingin memperbanyak istri dan tidak melihat hak hak-hak asasi wanita. Dan menurut pendapat kaum modernis berpoligami ini boleh dengan syarat seorang suami harus adil kepada semua istri yang sudah dinikahinya, seorang pria tidak bisa begitu saja mengambil lebih dari satu istri hanya karena dia menyukai wanita lain atau jatuh cinta dengan kecantikannya. Mereka juga berpendapat bahwa norma Al-Qur`an sesungguhnya adalah monogami tetapi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, itu pun, sekali lagi, disertai persyaratan keadilan yang sangat ketat.[8] Pejuang hak-hak wanita juga berpendapat bahwa pria tidak diciptakan oleh Allah sebagai hewan seksual semata sehingga dia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya selama istrinya mengalami menstruasi atau nifas.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berumah tangga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka terhadap perasaan cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah monogami dan poligami dalam surat An-Nisa ayat 2-3

وَءَاتُواْالْيَتَمَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْالْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَتَأْكُلُو اأَمْوَلَهُمْ إِلَىَ أَمْوَلِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيْرًا (۲)
Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka jangan kamu menukar yang bak dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ اُقْسِطُواْ فِى الْيَتَمَى فَا نْكِحُواْ مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِمَثْنَى وَثُلَثَوَرُبَعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِ لُواْ فَوَحِدَةًأَوْمَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ ذَالِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُلُوا(۳)  
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain. Yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
                        Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary berpendapat dalam kitab Tafsirnya: mengemukakan hasil penelitian penulis inggris dimasa itu, yang mengatakan bahwa orang-orang muslim yang bermukim di Benua Afrika, banyak yang memiliki istri lebih dari 10 orang, dengan pendapatan yang sangat minim. Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut menganggapnya seperti kehidupan ayam. Kalau ada diantara orang muslim yang berpoligami lebih dari empat orang, dan apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal tersebut adalah orang yanag menyeleweng dari ajaran islam. Bahkan Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhari sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang, sedangkan status ekonominya lemah.
E.     Segi positif dan negatif poligami dan monogami
·         Oleh karena itu, perlu dikemukakan disini hikmah dibolehkannya poligami dalam islam ; antara lain :
1.      Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari istri kedua karena istri pertama mandul.
2.      Untuk menghindari laki-laki dari berbuat zina.
3.      Untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapat suami yang berfungsi untuk melindunginya, memberi nafkah hidup serta melayani kebutuhan biologisnya
4.      Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan, agar tidak merasa kesepian.[9]
·         Dampak Negatif Poligami Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat dampak negatif poligami, di antaranya:
1.      Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.
2.      Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.
3.      Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
4.      Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.[10]
·         Segi positif monogami adalah :
1.      Rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
2.      Tidak memiliki rasa cemburu atau iri hati terhadap suami.

F.      Hukum Poligami
Sepakat Ulama Madzhab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, maka diperbolehkan poligami sampai 4 istri yang sudah dijelaskan didalam Al-qur’an surat An-nisaa ayat 3
Adapun poligami yang lebih dari pada itu, menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama hukum islam antara lain:
1)      Ada suatu golongan Ulama Hukum Islam yang mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki Muslim memiliki istri 9 orang dengan mengemukakan dua alasan:
a)      Mengikuti sunnah Nabi, dimana beliau memiliki 9 istri
b)      Hurug وَاوُ  pada ayat 3 dari surat An-Nisaa difahaminya dengan وَاوُ لِلْجَمْع (penjumlahan). Maka rumusnya adalah    2 + 3 + 4 = 9.
2)      Sebagian penganut Madzhab Ash-Zahahiry mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki muslim beristri sampai 18 orang. Alasan tersebut dikemukakan oleh Imam Al-Quthuby dalam Tafsirnya berbunyi:
Artinya : juga pendapat sebagian penganut Madzhab Ash-Shaarhiri yang mengatakan, bahwa boleh beristri sampai 18 orang; karena berpegang (pada alasan) bahwa kata bilangan pasa kalimat tersebut, mengandung pengertian untuk penjumlahan.
                           Jadi pendapat tersebut, diatas, dapat dirumuskan sebagai berikut: ( 2 + 2 ) + ( 3 + 3)  + ( 4 + 4 ) = 18. Dan jelas pula bahwa pendapt ini tidak menerima keterangan hadits yang membetasi 4 orang istri. Oleh karena itu, kami sebagai penulis tidak sepakat dengan hal ini, tetapi kami mengambil pendapat Imam Madzhab diatas.[11]

BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan
Dari makalah dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya asas perkawinan baik menurut Islam maupun peraturan perundang-undangan adalah monogami. Poligami semata-mata hanyalah sebagai suatu alternatif darurat yang dalam pelaksanaannya pun membutuhkan kebijaksanaan dan kemampuan suami untuk berbuat adil serta terlebih dahulu perlu adanya persetujuan dari pihak terkait yaitu seorang istri. Dalam makalah ini kami juga membahas tentang hikmah dan manfaat dari berpoligami dan monogami. dan menjelaskan pengertian dari poligami dan monogamy menurut pandangan islam.












DAFTAR PUSTAKA

Aj-Jahrani, Musfir, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Fikri, Abu, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, 2007
Hasan, M. Ali, Masail Fiqyah al-Haditsah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
            Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Wibisono, Yusuf, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zuhdi, Masjuk. Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1993.
   







[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 59-60
[2] Masjuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah (Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1993) hlm. 10



[3] M. Ali Hasan, Masail Fiqyah al-Haditsah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 18
[4] Yusuf Wibisono, 1980, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, Hlm 47
[5] Musfir Aj-Jahrani,1997, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 33
[6] Ibid., Hlm. 37
[7] Abu Fikri, 2007, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, hlm. 68
[8] Ibid, hlm. 69
[9] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 60-62

[10] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 161
[11] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm. 62-65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar