Jumat, 23 Oktober 2015

PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI PADA GENERASI MUDA



PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI PADA GENERASI MUDA






Di Susun Oleh : Anuri
Dosen Pembimbing : Hadi Winarno, M. Pd







SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-MARHALAH AL’ULYA
KOTA BEKASI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Demokrasi dan Pendidikan “.
 Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi  penyempurnaan pembuatan makalah ini. Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga Allah memberikan pahala yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuanini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal‟Alamiin.












DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... 2
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN………………………….. .................................. 4
I.1. Latar Belakang ....................................................................................... 4
I.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 5
II.1 Pengertian Pendidikan Demokrasi.......................................................... 5
II.2 Hubungan Pendidikan dan Demokra ..................................................... 6
II.3. Tujuan Pendidikan Demokrasi ............................................................. 7
II.4 Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan di Indonesia .................................. 8
II.5 Penerapan demokrasi pendidikan ......................................................... 10
II.6 Permasalahan penerapan pendidikan demokrasi .................................. 10
II.7 Solusi menghadapi permasalahan penerapan pendidikan demokrasi....11
BAB III PENUTUPAN .............................................................................. 12
III.1 KESIMPULAN………….………………… ......................................12
III.3 DAFTAR PUSTAKA …………………………................................. 13







BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
 Negara-negara modern dewasa ini menggolongkan diri mereka ke dalam demokrasi, yaitu negara yang pemerintahanya dijalankan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”,sekalipun dalam mekanisme pemerintahanya baik yang menyangkut infrastruktur politik maupun suprastruktur politik, berbeda satu dengan yang lain. Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Tahukah anda apa itu demokrasi?? Dan bagaimana bentuk demokrasi itu dalam sistem suatu negara?? Dan apa pengaruhnya untuk dunia pendidikan?. Dalam makalah ini saya akan membahas permasalahan-permasalahan tersebut untuk menambah pengetahuan bagi para  pembaca makalah ini.
I.2. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari demokrasi dan pendidikan ?
2.      Apa yang dimakasud pendidikan demokrasi ?
3.      Apa manfaat pendidikan demokrasi untuk generasi muda ?
4.      Masalah apa saja yang menjadi penghambat demokrasi suatu negara?
5.      Bagaimana perkembangan demokrasi dan dunia pendidikan di Indonesia?


BAB II PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Pendidikan Demokrasi
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui  pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos dan Kratein.Demos berarti rakyat, sedangkan kratein berarti kekuasaan. Bentuk kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Pengertian demokratik di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun vertikal. Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Hal ini tercermin  pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sementara itu, demokrasi secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau  pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan  perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya). Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tutwuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya. Pendidikan demokrasi pada hakekatnya membimbing peserta didik agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, agar  perilakunya mencerminkan kehidupan yang demokratis. Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam  berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan  pengelola pendidikan. Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman yang kaya akan pendidikan demokrasi. Menurut Udin S. Winataputra, sejak tahun 1945 sampai sekarang instrument perundangan sudah menempatkan pendidikan demokrasi dan HAM sebagai bagian integral dari pendidikan nasional. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan  bahwa “Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung jawab”, yang kemudian oleh kementrian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan: “..untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat” dengan ciri-ciri sebagai berikkut: “Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; perasaan cinta kepada Negara; perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat; keyakinan bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus tunduk pada tata tertib; keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan keyakinan bahwa Negara memerlukan warga  Negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan”. Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa semua ide yang terkandung dalam butir- butir rumusan tujuan pendidikan nasional sesungguhnya merupakan esensi pendidikan demokrasi dan HAM.

II.2 Hubungan Pendidikan dan Demokrasi
Dalam perspektif studi cultural, system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu kebutuhan. System  Negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan demokrasi yaitu:
1. Pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat Masalah pendidikan tidak lepas dari kebudayaan suatu masyarakat dan politik di dalamnya. Proses pendidikan bersifat dinamis yang menggerakkan dan merubah nilai-nilai suatu masyarakat sesuai dengan perubahan kehidupan yang ada. Pendidikan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat lokal maupun nasional dengan dinamika yang ditentukan oleh kemampuan-kemampuan pribadi sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, tanpa pendidikan tidak mungkin suatu masyarakat dapat merubah budaya dan negaranya ke arah yang lebih baik.
2. Pendidikan sebagai pelaksana kekuasaan negara System pendidikan dapat merubah gaya hidup suatu masyarakat karena dapat merubah tingkah laku seseorang dalam berpikir yang lebih terbuka. Dalam pandangan studi cultural, peran Negara dapat bersifat positif apabila lembaga-lembaga pendidikan  juga mempunyai control terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara. Masyarakat berhak ikut serta dalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi lembaga pendidikan. Atas dasar tersebut, pembangunan suatu mayarakat hanya dapat terjadi apabila masyarakat itu sendiri mempunyai sikap demokratis, kesatuan bangsa atau nasionalisme, dan rasa persatuan. Masyarakat akan kritis terhadap kebijakan yang dimunculkan oleh penguasa. Dan dari sikap kritis tersebut akan menjadi benih bagi demokratisasi penyelenggaraan Negara.
3. Tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis Hakikat pendidikan demokratis sendiri adalah pemerdekaan. Sedangkan tujuan  pendidikan dalam suatu Negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan berbagai perbudakan lainnya. Hal ini sejalan dengan tujuan otonomi pendidikan yang memberdayakan manusia melalui otonomi lembaga-lembaga pendidikan di masyarakat baik dalam bentuk pendidikan Negara maupun  pendidikan swasta. Eksistensi pendidikan swasta menunjukkan dengan jelas bahwa antara politik dan pendidikan saling berkaitan. Keterkaitan ini menandakan bahwa  politik tidak lepas dari pendidikan dan demikian pula pendidikan tidak bisa lepas dari  politik. Seorang tokoh demokrasi dan pendidikan, John Dewey juga melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi, maka kita memasuki wilayah pendidikan. Menurutnya pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu pendidikan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari  penyelenggaraan Negara yang demokratis.
II.3. Tujuan Pendidikan Demokrasi
Tujuan pendidikan demokrasi adalah untuk mempersiapkan warga masyarakat  berpikir kritis dan berpikir demokratis. Namun demikian dalam Kaitan dengan pendidikan,  persoalan, yang muncul adalah mungkinkah pendidikan demokrasi dilangsungkan dalam suasana sekolah yang sangat birokratis, hirairkis-sentralistis dan elitis. Dengan demikian tampaklah bahwa demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam  berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengeola  pendidikan. Karena itulah demokrasi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas, patut selalu dianalisis sehingga memberikan manfaat dalam praktek kehidupan dan pendidikan yang paling tidak mengandung hak-hak sebagai berikut: Rasa hormat terhadap harkat dan martabat sesama manusia. Dalam hal ini demokrasi dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin  persaudaraan hak manusia dengan tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama dan bangsa.
Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat. Dengan acuan prinsip inilah yang melahirkan adanya pandangan bahwa manusia itu haruslah dididik, karena dengan pendidikanlah manusia akan berubah dan berkembang kearah yang lebih sehat dan baik serta sempurna. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, pengertian demokrasi tidaklah berarti dibatasi oleh kepentingan individu-individu lain, atau dengan kata lain bahwa seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya. Maka dari itu prinsip demokrasi pendidikan adalah sangat dipengaruhi oleh konteks dimana  pikiran itu ada, sifat dan jenis masyarakat apa yang melatarbelakangi masalah tersebut. masyarakat agraris berbeda dengan masyaraklat modern. Masyarakat pedesaan (prosentasi desa lebih besar daripada kota), akan juga berbeda adanya. Dalam kaitannya dengan prinsip- prinsip tersebut, ada 3 butir hal-hal sebagai berikut:
·         Keadilan dalam kesempatan belajar bagi semua warga negara, dengan cara adanya  pembuktian kesetiaan pada sistem politik yang ada.
·         Dalam rangka pembentukan pemerintahan nasional dan karakter bangsa sebagai  bangsa yang baik.
·         Suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional dalam rangka prinsip modernisasi  bengsa lewat pendidikan/perencanaan pendidikan.
II.4 Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Demokrasi pendidikan merupakan proses buat memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan kesempatan buat mendapatkan pendidikan di dalam masyarakat tertentu. Pelaksanaan demokrasi pendidikan di Indonesia pada dasarnya telah dikembangkan sedemikian rupa dengan menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam  pendidikannya, terutama setelah diproklamirkannya kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti berikut ini: Pasal 31 UUD 1945;
Ø  Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Ø  Ayat (2): pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian di negara Indonesia, semua warga negara diberikan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan, yang penyelenggaraan pendidikannya diatur oleh satu undang-undang sistem pendidikan nasional, dalam hal ini tentu saja UU nomor 2 tahun 1989.
UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional. Menurut UU ini, cukup banyak dibicarakan tentang demokrasi pendidikan, terutama yang berkaitan dengan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, misalnya:
Ø  Pasal 5; Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
Ø  Pasal 6; Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Ø  Pasal 7; Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang  bersangkutan.
Ø  Pasal 8; 1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh  pendidikan luar biasa. 2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh  perhatian khusus. 3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. pendidikan yang dimaksud adalah model  pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pebelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif, dan menantang aktualisasi diri mereka. Dalam konteks ini, proses belajar tidak lagi menjadi monopoli dosen maupun guru, tetapi menjadi milik  bersama dan menjadikan proses belajar sebagai wadah untuk dialog dan belajar bersama. Pendidikan model ini sangat relevan bagi pengembangan pendidikan demokraasi, yang biasa dikenas sebagai pendidikan kewargaan (Civic Education). Sebagai komponen warga negara, pengalaman mahasiswa dan siswa dalam praktik berdemokrasi di kelas akan sangat berharga bagi proses transpormasi nilai-nilai demokrasi dan HAM dalam kehidupan sosial. Kampus dan sekolah dengan demikian dapat berfungsi sebagai laboratorium dan katalis demokrasi. Tetapi, menjadikan kampus dan sekolah sebagai tempat pendadaran demokrasi tidak akan maksimal tanpa dukungan komponen civitas akademika, staf, karyawan, dan pimpinan.
Peran lembaga pendidikan tinggi sangatlah penting dan strategis dalam proses  pengembangan budaya demokrasi di kalangan generasi muda. sejarah telah membuktikan  bahwa mahasiswa adalah tulang punggung gerakan reformasi. mahasiswa tercatat sebagai kekuasaan genuine dari gerakan reformasi di indonesia. ketulusan, semangat, dan keberpihakan pada nasib rakyat dan masa depan indonesia telah menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan di indonseia yang selalu diperhitungkan dari masa ke masa.
II.5 Penerapan demokrasi pendidikan
Menurut Michael W.Apple dalam Dede Rosyada, ciri-ciri penerapan demokrasi  pendidikan sebagai berikut:
1.      Adanya keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah
3.      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang di keluarkan sekolah
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan persoalan- persoalan public
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan minoritas
6.      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokerasi yang di idealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokrasi
II.6 Permasalahan penerapan pendidikan demokrasi
Permasalahn Pendidikan di Indonesia Salah satu penghambat dalam pendidikan di Indonesia adalah munculnya beberapa masalah. Padahal pendidikan merupakan cara yang utama dalam peningkatan mutu SDM Indonesia. Kali ini masalah yang muncul dalam  pembahasan makalah demokrasi pendidikan di Indonesia meliputi : a. Rendahnya partisipasi masyarakatUUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan  pengendalian mutu pelayanan pendidikan.Setelah dijelaskan di atas tentang undang-undang yang menerangkan pentingnya partisipasi masyarakat. Tapi dalam praktiknya peran masyarakat dalam pendidikan rendah. Misalnya masih rendahnya pemikiran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, ada kalanya dalam hal kegiatan sekolah kadang kala orang tua kurang mendukung dalam kegiatan sekolah tersebut, dan lain-lain  b. Rendahnya inisiatif kebijakan yang kurang demokratis.
II.7 Solusi menghadapi permasalahan penerapan pendidikan demokrasi
Usaha Dalam Penyelesaian Permasalahan Pendidikan di Indonesia Dalam menyelesaikan permasalah pendidikan di Indonesia terdapat beberapa usaha, antara lain sebagai berikut : a. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan misalnya dengan penyempurnaan kurikulum ,pelaksanaan paradigma  pendidikan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan dasar Negara Indonesia yaitu pancasila yang didalamnya mengandung unsur–unsur pendidikan yang Berketuhanan, Berkemanusiaan, dan Berbudi pekerti luhur dengan diterapkannya paradigma ini maka demokrasi pendidikan akan dapat diwujudkan  b. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan misalnya kebijakan pemerintah dengan mencananangkan DANA BOS [bantuan operasional sekolah] ini sangat bermanfaat untuk  perbaikan gedung – gedung sekolah , menambah media belajar siswa ,untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai,menambah referensi buku– buku  perpustakaan , membuat laboratorium praktek sesuai standar selain DANA BOS ada juga  beasiswa bagi anak yang orang tuanya kurang mampu maupun anak yang berprestasi baik ,ini sangat membantu kelangsungan pendidikan mereka. c. Peningkatan relevansi pendidikan mengandung arti karena ada ketidakserasian antara hasil  pendidikan [output] dengan kebutuhan dunia kerja .Yang menjadi masalah utama karena ketrampilan yang di miliki tidak sesuai dengan yang dibutuhkan .Sehingga sekarang banyak  berdiri sekolah-sekolah kejuruan yang mencetak siswa untuk dapat mempunyai ketrampilan sesuai profesi yang diinginkan .Misal STM , SMK, Sekolah ketrampilan. d. Untuk mengatasi rendahnya kualitas guru pemerintah sekarang mengeluarkan kebijakan  bahwa guru SD minimal harus S1 [strata 1] dan dalam proses belajar mengajar harus sesuai
dengan kode etik guru untuk meminimalisir hal- hal yang tidak diinginkan,serta guru itu tidak hanya mengajar tetapi harus memberi contoh yang baik atau teladan bagi siswa – siswanya. e. Untuk mengatasi rendahnya kesejahteraan guru sekarang pemerintah menaikkan gaji guru ,  berupa gaji pokok,tunjangan yang melekat pada gaji ,tunjangan profesi dan lain – lain , sehingga dengan meningkatkan kesejahteraan guru diharapkan guru itu dapat mencintai  profesinya dengan utuh artinya guru itu tidak akan mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan jadi dapat berkonsentrasi dalam proses pendidikan khususnya proses  belajar mengajar.















BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Pendidikan dan demokrasi dalam kaitannya antara sistem Negara dan pendidikan merupakan system yang terintegrasi dalam system kekuasaan yang mempunyai hubungan erat, yaitu pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat, sebagai pelaksana kekuasaan Negara, dan tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis. Demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelolaan pendidikan tanpa memandang suku, kebangsaan, agama maupun ras. Juga tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.











 DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan Hasbullah, Dasar-Dasat Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999.
Tanlain Wens, Mpd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1992.
Wirojoedo Soebijanto, Teori Perencanaan Pendidikan, Liberty: Yogyakarta.

Masalah Poligami dan Monogami



BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang Masalah
Dalam Al-quran menjelaskan, bahwa manusia mempunyai naluriah dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Untuk mengetahui sejauh mana kebaikan hukum perkawinan dalam Islam, perlu dilihat antara lain bagaimana sikap Islam mengenai monogami dan poligami, karena masih saja ada anggapan bahwa hukum Islam, khususnya mengenai perkawinan, tidak dianggap adil sehubungan dengan sikap Islam itu yang membolehkan pria menikah dengan wanita lebih dari satu atau satu orang saja. Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (adz-Dzaariyaat:49). Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama.
 Karena masih banyak yang menganggap hukum Islam itu tidak adil sehubungan dengan sikap Islam yang membolehkan kaum pria menikah dengan wanita, lebih dari satu dan jika ditinjau kembali poligami menimbulkan banyak kemudaratan yang ditimbulkan karena seorang pria berlaku tidak adil atau lain sebagainya. Oleh karena itu kamu sebagai penulis makalah ini akan menjelaskan masalah poligami dan monogami.
b.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian poligami dan monogami
2.      Segi positif dan negatif masalah poligami dan monogami
3.      Poligami dan monogami dalam perundang-undangan
4.      Pandangan Islam terhadap Poligami dan monogami


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masalah Poligami dan Monogami
1.      Pengertian Poligami dan monogami
Istilah poligami berasal dari Bahasa Inggris “polygamy” dan disebut تَعَدُّ دُالزَّوْجَاتِ dalam hukum islam yang berarti beristri lebih dari seorang wanita.[1] Sedangkan monogami adalah Monos berarti satu dan gamos berarti perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan dimana hanya mengawini satu istri saja.
2.      Monogami dan Poligami Menurut Perundang-Undangan
Berdasarkan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, maka Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU No. 1/1974). Hanya apabila dikendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun diizinkan oleh pihak-pihak bersangkutan, hanya dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[2]
B.     Masalah poligami dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
a.       Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
b.      Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
c.       Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
a.       Suami yang beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
b.      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pada pasal 57 disebutkan Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajban sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.[3]

C.     Sejarah dan Jenis Poligami atau paling tepatnya poligini, ada di setiap zaman. Sebelum Nabi Muhammad tampil ke muka bumi. Poligami ini telah di lakukan oleh orang-orang Arab, orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan bangsa-bangsa lainnya di Dunia.[4] Di dalam masyarakat manusia terdapat beberapa bentuk poligami, yaitu seorang wanita memiliki banyak suami (poliandri), gabungan antara poligami dan poliandri, serta seorang suami yang memiliki banyak istri (poligami). Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal (Monogami) dan juga free sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki tanpa perkawinan yang sah. Diantaranya tiga macam poligami tersebut yaitu:
1.      Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri) Dalam sistem perkawinan poliandri, banyak laki-laki mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di berbagai wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini bersama seorang wanita. Didalam komunitas masyarakat india, seorang wanita boleh memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Sejarah telah mencatat bahwa perkawinan seperti itu telah berkembang dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Hal itu jelas tersurat dalam riwayat berikut ini: “Diceritakan dari Aisyah: kelompok laki-laki yang kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini) seorang wanita.”[5]
2.      Gabungan Poligami Dengan Poliandri Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari wanita sebagai suami istri dengan hak yang diakui antara mereka. Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat daerah pegunungan Tibet, pegunungan Himalaya India, dan Australia. Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki yang menggauli adik dan kakak sendiri.
Perkawinan tersebut mereka namai sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a.       Diperbolehkan laki-laki mengawini beberapa wanita baik saudaranya sendiri maupun orang lain.
b.      Diperbolehkan seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan polinesia dan India. Di selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari adik adik-adik suaminya. Dan mereka sekaligus menjadi suami adik-adik wanita tersebut.
3.      Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami) Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum islam di setiap masyarakat yang beradapan tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat cina, India, Mesir, Arab Persia, Yahudi, sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Borwegia, dan lain-lain. Sementara itu bangsa Arab dan yahudi melaksanakan poligami dalam ruang lingkup yang luas dan tidak membatasi jumlahnya. Contoh Sebuah gambaran praktik poligami di beberapa Negara sebagai berikut. Di Cina suami berhak mengawini seorang atau beberapa wanita jika ternyata istri yang pertama tidak dapat memberikan anak (mandul) karena bagi mereka anak adalah tumpuan harapan yang dapat mewarisi berbagai hal setelah ayahnya meninggal dunia. Namun seorang istri menempati kedudukan tertinggi dan dominan istri-istri lainnya tunduk kepada istri pertama. Di India parktik poligami sangat dominan terutama di kalangan kerajaan, pembesar, atau orang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan peraturan alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau terlalu emosional. Dikalangan bangsa Mesir kuno poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang berlaku. Anggapan bangsa timur kuno, seperti Babilonia, Madyan, atau Siria poligami merupakan perbuatan suci karena para raja dan penguasa yang menempati posisi suci dalam hati mereka juga melakukan poligami. Selain itu praktik poligami pun dikenal di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam sunan Turmudzi disebutkan bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk islam memiliki sepuluh orang istri. Masyarakat yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas jumlah wanita yang dinikahinya. Di dalam taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak, dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri. Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami jarang terjadi di kalangan masyarakat yang terbelakang karena mereka telah terbiasa memiliki satu istri (monogami)., terutama yang pekerjaannya berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat.[6]

D.    Beberapa Pendapat Mengenai Poligami
Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami adalah bagian dari syarat islam dan karena itu pria boleh memiliki istri hingga empat orang. Bahkan tanpa perlu alasan apapun. Di lain pihak, kaum modernis dan pejuang hak-hak asasi wanita berhadapan bahwa poligami diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa keadilan bagi semua istri.[7] Jadi menurut pendapat para  ulama ortodok ini poligami dibolehkan tanpa melihat bagaimana cara berpoligami yang benar menurut mereka seorang pria boleh berpoligami tanpa melihat alasanya kenapa berpoligami, menurut saya mereka berpoligami cuma hanya ingin memperbanyak istri dan tidak melihat hak hak-hak asasi wanita. Dan menurut pendapat kaum modernis berpoligami ini boleh dengan syarat seorang suami harus adil kepada semua istri yang sudah dinikahinya, seorang pria tidak bisa begitu saja mengambil lebih dari satu istri hanya karena dia menyukai wanita lain atau jatuh cinta dengan kecantikannya. Mereka juga berpendapat bahwa norma Al-Qur`an sesungguhnya adalah monogami tetapi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, itu pun, sekali lagi, disertai persyaratan keadilan yang sangat ketat.[8] Pejuang hak-hak wanita juga berpendapat bahwa pria tidak diciptakan oleh Allah sebagai hewan seksual semata sehingga dia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya selama istrinya mengalami menstruasi atau nifas.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berumah tangga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka terhadap perasaan cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah monogami dan poligami dalam surat An-Nisa ayat 2-3

وَءَاتُواْالْيَتَمَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْالْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَتَأْكُلُو اأَمْوَلَهُمْ إِلَىَ أَمْوَلِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيْرًا (۲)
Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka jangan kamu menukar yang bak dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ اُقْسِطُواْ فِى الْيَتَمَى فَا نْكِحُواْ مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِمَثْنَى وَثُلَثَوَرُبَعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِ لُواْ فَوَحِدَةًأَوْمَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ ذَالِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُلُوا(۳)  
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain. Yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
                        Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary berpendapat dalam kitab Tafsirnya: mengemukakan hasil penelitian penulis inggris dimasa itu, yang mengatakan bahwa orang-orang muslim yang bermukim di Benua Afrika, banyak yang memiliki istri lebih dari 10 orang, dengan pendapatan yang sangat minim. Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut menganggapnya seperti kehidupan ayam. Kalau ada diantara orang muslim yang berpoligami lebih dari empat orang, dan apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal tersebut adalah orang yanag menyeleweng dari ajaran islam. Bahkan Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhari sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang, sedangkan status ekonominya lemah.
E.     Segi positif dan negatif poligami dan monogami
·         Oleh karena itu, perlu dikemukakan disini hikmah dibolehkannya poligami dalam islam ; antara lain :
1.      Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari istri kedua karena istri pertama mandul.
2.      Untuk menghindari laki-laki dari berbuat zina.
3.      Untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapat suami yang berfungsi untuk melindunginya, memberi nafkah hidup serta melayani kebutuhan biologisnya
4.      Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan, agar tidak merasa kesepian.[9]
·         Dampak Negatif Poligami Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat dampak negatif poligami, di antaranya:
1.      Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.
2.      Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.
3.      Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
4.      Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.[10]
·         Segi positif monogami adalah :
1.      Rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
2.      Tidak memiliki rasa cemburu atau iri hati terhadap suami.

F.      Hukum Poligami
Sepakat Ulama Madzhab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, maka diperbolehkan poligami sampai 4 istri yang sudah dijelaskan didalam Al-qur’an surat An-nisaa ayat 3
Adapun poligami yang lebih dari pada itu, menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama hukum islam antara lain:
1)      Ada suatu golongan Ulama Hukum Islam yang mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki Muslim memiliki istri 9 orang dengan mengemukakan dua alasan:
a)      Mengikuti sunnah Nabi, dimana beliau memiliki 9 istri
b)      Hurug وَاوُ  pada ayat 3 dari surat An-Nisaa difahaminya dengan وَاوُ لِلْجَمْع (penjumlahan). Maka rumusnya adalah    2 + 3 + 4 = 9.
2)      Sebagian penganut Madzhab Ash-Zahahiry mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki muslim beristri sampai 18 orang. Alasan tersebut dikemukakan oleh Imam Al-Quthuby dalam Tafsirnya berbunyi:
Artinya : juga pendapat sebagian penganut Madzhab Ash-Shaarhiri yang mengatakan, bahwa boleh beristri sampai 18 orang; karena berpegang (pada alasan) bahwa kata bilangan pasa kalimat tersebut, mengandung pengertian untuk penjumlahan.
                           Jadi pendapat tersebut, diatas, dapat dirumuskan sebagai berikut: ( 2 + 2 ) + ( 3 + 3)  + ( 4 + 4 ) = 18. Dan jelas pula bahwa pendapt ini tidak menerima keterangan hadits yang membetasi 4 orang istri. Oleh karena itu, kami sebagai penulis tidak sepakat dengan hal ini, tetapi kami mengambil pendapat Imam Madzhab diatas.[11]

BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan
Dari makalah dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya asas perkawinan baik menurut Islam maupun peraturan perundang-undangan adalah monogami. Poligami semata-mata hanyalah sebagai suatu alternatif darurat yang dalam pelaksanaannya pun membutuhkan kebijaksanaan dan kemampuan suami untuk berbuat adil serta terlebih dahulu perlu adanya persetujuan dari pihak terkait yaitu seorang istri. Dalam makalah ini kami juga membahas tentang hikmah dan manfaat dari berpoligami dan monogami. dan menjelaskan pengertian dari poligami dan monogamy menurut pandangan islam.












DAFTAR PUSTAKA

Aj-Jahrani, Musfir, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Fikri, Abu, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, 2007
Hasan, M. Ali, Masail Fiqyah al-Haditsah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
            Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta : Kalam Mulia, 2003.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Wibisono, Yusuf, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zuhdi, Masjuk. Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1993.
   







[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 59-60
[2] Masjuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah (Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1993) hlm. 10



[3] M. Ali Hasan, Masail Fiqyah al-Haditsah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 18
[4] Yusuf Wibisono, 1980, Monogami Atau Poligami Masalah Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, Hlm 47
[5] Musfir Aj-Jahrani,1997, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 33
[6] Ibid., Hlm. 37
[7] Abu Fikri, 2007, Poligami Yang Tidak Melukai Hati?, Bandung: Mizan, hlm. 68
[8] Ibid, hlm. 69
[9] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm 60-62

[10] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 161
[11] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia 2003) hlm. 62-65