PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan
merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya.
Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi.
Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk
kesejahteraan manusia dunia-akhirat sehingga perlu diaplikasikan, sebab
pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting
hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki
dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk
belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya
pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling
membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka
hadapi. Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia. Hampir semua sektor
seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat sampai pada masalah
menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor
penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum
setara. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar
kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi
kunci. Studi-studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender
terjadi akibat rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal
tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh
karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan
mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam
makalah ini terdapatbeberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:
1.
Apa
pengertian dan tujuan pendidikan Islam?
2.
Apa
pengertian kesetaraan gender?
3.
Bagaimana
konsep gender dalam Islam?
4.
Bagaimana
kesetaraan gender dalam pendidikan?
5.
Apa
tujuan pendidikan berspektif gender?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1] Menurut
Dzakiah Daradjat pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[2]
Pendidikan Islam menurut Arifin hakikat pendidikan Islam adalah
usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui
ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Sedangkan
menurut Fatah Syukur memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah proses
bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya kepada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi muslim
yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha
untuk mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar terwujud kehidupan
manusia yang makmur dan bahagia dunia dan akhirat. Karena pendidikan Islam
tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga praktis, maka pendidikan Islam
merupakan pendidikan iman sekaligus pendidikan amal.
Pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai standar dalam mengukur dan
mengevaluasi tingkat pencapaian / hasil pelaksanaan pendidikan Islam, juga
sebagai pedoman dan arah proses pendidikan Islam itu sendiri. Ada sejumlah
pendapat mengenai tujuan pendidikan Islam, antara lain:
1. Hasan Langgulung memberi pentahapan tujuan
pendidikan Islam menjadi tiga tingkat, yaitu:
a)
Tujuan
tertinggi, tujuan ini bersifat mutlak, artinya tidak akan mengalami perubahan
baik dalam dimensi ruang/waktu yang berbeda-beda. Tujuan ini lebih menekankan
pada tujuan filosofis.
b)
Tujuan
umum, tujuan ini lebih menekankan pada pendekatan empirik, artinya tujuan yang
diharapkan dapat dicapai ketika proses pendidikan itu diterapkan, misalnya
dalam hal perubahan sifat, kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dikatakan
tujuan umum karena berlaku bagi semua peserta didik.
c)
Tujuan
khusus, tujuan ini adalah perubahan yang diharapkan dari tujuan-tujuan umum
secara lebih spesifik lagi. Tujuan ini merupakan gabungan pengetahuan,
keterampilan, pola laku, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan
tertinggi dan tujuan umum.
2. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrosyi, tujuan pendidikan
Islam adalah membantu pembentukan akhalak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia
dan akhirat, menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan hati
untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu,
menyiapkan pelajaran agar dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu dan
perusahaan tertentu agar dapat mencari rezeki, hidup mulia dengan tetap
memelihara kerohanian dan keagamaan, serta mempersiapkan kemampuan mencari dan
mendayagunakan rezeki.
3. Ahmad D. Marimba, menyimpulkan tujuan akhir
pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, yang didahului
pencapaian tujuan sementara yaitu kecakapan jasmaniah, kemampuan
membaca-menulis, pengetahuan, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan dan
keagamaan, kedewasaan jasmani dan rohani.[6]
Dari
berbagai tujuan pendidikan Islam diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam pada dasarnya sama dengan tujuan umat Islam, yaitu untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
B. Pengertian Kesetaraan Gender
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membahas masalah kaum
perempuan adalah pemahaman terhadap konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.
Pembedaan terhadap kedua konsep tersebut perlu dilakukan agar tidak ada
kerancauan dalam pemahaman tentang gender dan ketidakadilan gender.
Ketidakjelasan makna seks dan gender mengakibatkan timbulnya kekeliruan dalam
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Seks (jenis kelamin)mempunyai arti pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu.[7] Perbedaan jenis kelamin tersebut meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan
karakteristik biologis lainnya.[8] Seks (jenis kelamin) dibedakan berdasarkan
faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi
laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis,
testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan
rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan
tidak dapat dirubah. Berbeda dengan konsep seks, gender dipahami sebagai suatu
dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan padakebudayaan
dan kehidupan kolektif. Sehingga gender juga dipahami sebagai suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi sosial dan budaya non biologis. Konsep gender tersebut
mengacu pada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku
yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau
lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah
dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan). Pengertian gender
tersebut berimplikasi pada munculnya pandangan bahwa perempuan memiliki sifat
feminim, diantaranya lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan
laki-laki memiliki sifat maskulin, diantaranya dianggap sebagai pribadi yang
memiliki karakteristik kuat, rasional dan perkasa. Pembedaan sifat laki-laki
dan perempuan tersebut sebenarnya bisa saling dipertukarkan, artinya bisa saja
laki-laki memiliki sifat yang lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara
perwempuan mem[punyai sifat kuat, perkasa, rasional dan sebagainya.
Berbagai
pengertian di atas menyimpulkan bahwa seks secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi
yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
sosial budaya dan aspek-aspek non biologis lainnya.
C. Konsep Gender dalam Islam
Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat
dalam Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat: 13, Al-Nisa':1, Al-A'raf:189,
Al-Zumar:6, Fatir:11, dan Al-Mu'min: 67.
Di
antaranya dalam al-Qur'an surat al-Hujurat: 13
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan,
antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di
dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam
superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender
terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya
persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan
laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas
perempuan dan laki-laki.
Senada
dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya
perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Meskipun secara biologis laki-laki dan
perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan
jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif
terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan
perempuan dan mengistimewakan laki-laki.
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan
kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan
takwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam
disebut amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai,
dan sejahtera. Namun dalam perkembangannya, kesetaraan gender ini belum
sepenuhnya berlandaskan pada ajaran tersebut diatas. Bahkan antara satu negara
dengan negara lainnya yang berpenduduk muslim tidaklah sama dalam
memperjuangkan nasib perempuan. Hal ini terlihat dari keberadaan kaum perempuan
di Indonesia yang masih menjadi subordit kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum
perempuan tidak serta merta dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Hampir setiap
budaya kita menempatkan laki-laki sebagai pemimpin baik dalam keluarga ,maupun
berbangsa dan bernegara, meski juga diakui tidak semua budaya kita menjadikan perempuan
dalam posisi kedua.
D. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama
peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas.
Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan
merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang
lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan,
pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan. Kesetaraan gender menuntut adanya suatu perlakuan adil terhadap
laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak dapat dijadikan dasar untuk
terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap
satu jenis kelamin tertentu.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak
adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi
dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana
perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan tersebut
diantaranya adalah:
1. Marginalisasi terhadap perempuan
Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan
kepinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang
atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya
perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Contoh
marjinalisasi terhadap perempuan ini diantaranya: a) dalam proses pembangunan,
perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut mengambil keputusan
dan pendapatnya jarang didengarkan, b) dalam keluarga perempuan tidak diakui
sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami
sekalipun suami tidak bisa memimpin, c) dalam diri perempuan sendiri terdapat
perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri karena tidak percaya
diri, dan masih banyak contoh lainnya.
2. Steorotip masyarakat terhadap perempuan
Pandangan stereotip masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif
antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah mempunyai sifat
masing-masing yang sepantasnya, sehingga tidak dapat keluar dari qodrat yang
telah ada. Sebagai contoh: a) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan
anak perempuan, pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus
suami diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, b) kebanyakan
perempuan memilih pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai seks tanpa mempedulikan
kemampuan atau potensi sebenarnya yang dimiliki, c) jika seorang laki-laki
memperkosa seorang perempuan, maka perempuan ini yang bertanggung jawab, karena
ia keluar dari rumahnya, dan karena tugas seorang perempuan adalah tinggal di
rumah, dan lain sebagainya.
3. Subordinasi terhadap perempuan
Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih
rendah dari laki-laki, sehingg amenyebabkan mereka merasa sudah selayaknya
sebagai pembantu, nomor dua, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan
kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap perempuan tidak mampu
berpikir seperti ukuran mereka, sehingga mereka selalu khawatir apabila memberi
pekerjaan berat kepada perempuan.
4. Beban ganda terhadap perempuan
Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama pengerjaannya
bila diberikan kepada laki-laki, karena perempuan yang bekerja disektor publik
masih memiliki tanggungjawab pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat diserahkan
kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama perempuan.
5. Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan psikis, seperti
pelecehan, permintaan hubungan seks ditempat umum, senda gurau yang melecehkan
seks perempuan. Dan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, perkosaan,
penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya.
Sementara itu dalam pendidikan dasar persamaan pendidikan
menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa
disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro
menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan
yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi,
sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini,
pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab
manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila
ada sebagian anggota masyarakat yang tersingkir dari kebijakan kependidikan
berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat
harus diperjuangkan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud
dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan,
antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak
perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah
lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk
sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab
mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak
membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika
Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam
menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang
kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan
sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan
untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam
jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata
pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan
hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga
masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap
perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan
merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu
kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi
dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan
minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari
kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali
dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti perempuan-perempuan harus putus sekolah karena diskriminasi
gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan
ekonomi, anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih
tinggi daripada anak perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender dapat juga
disebut dengan istilah kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita
dalam pendidikan, artinya pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan,
peranan dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dalam
pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu bila ditinjau dari tinjauan Yuridis konsep pendidikan
berperspektif gender telah dirumuskan oleh pemerintah, karena melihat
kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat khususnya kaum wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender itu, dalam instansi pemerintah telah mengambil kebijakan,
pendidikan yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang tertuang
dalam:
1. Konvensi Wanita Tahun 1981
Konvensi
wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya
adalah:
Pasal
1, “...istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar
persamaan antara pria dan wanita.
Pasal
2: mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau
dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan antara wanita dan
pria.
Pasal
3: negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial,
ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita sepenuhnya,
dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.
Pasal
4: pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk
peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi
kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal
5: negara-negara peseta wajib wajib membuat peraturan-peraturan:
BAB III
PENUTUP
Pendidikan merupakan hak asasi manusia. Pendidikan yang tidak
diskriminatif akan menguntungkan baik bagi laki-laki maupun perempuan yang pada
akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan gender dalam hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah
perbedaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil
konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender banyak terjadi dalam
berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya peran gender terjadi
dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat
partisipasi perempuan.
Dalam Islam, Allah mewajibkan hambanya untuk memperoleh pendidikan
yang tinggi, tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
pendidikan. Antara laki-laki dan perempuan keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba yang ideal dalam hal
ini adalah bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun karier
profesional tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja. Demikian pula
peluang untuk meraih prestasi maksimum dalam pendidikan terbuka lebar untuk
laki-laki dan perempuan, yang membedakan adalah ketakwaannya dihadapan Allah. Isu
kesetaraan gender seiring dengan perkembangan zaman yang didukung oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi
dan globalisasi informasi yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan berperan
sama dengan kaum laki-laki. Pendidikan adalah produk konstruksi sosial, dan ada
dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu
diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan
telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bias gender secara
menyeluruh. Hampir pada semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran
dimasyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena
latar pendidikan yang belum setara.
Bias gender dalam bidang pendidikan dapat kita lihat misalnya pada
kejadian anak perempuan yang masih menempuh jenjang pendidikan SMP/SMA yang
hamil diluar nikah baik karena sengaja maupun kecelakaan dikeluarkan dari
sekolah, sedangkan laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun.
Selain itu anak perempuan yang sudah menikah tidak diperbolehkan melanjutkan
pendidikan di SMP/SMA.
Begitu
banyak isu kesetaraan gender yang diperbincangkan selama ini, namun bukti
konkrit pencapaiannya masih tumpang tindih dan bias gender masih terjadi
dimana-mana. Hal ini dikarenakan kurang pahamnya tentang pengertian gender ataupun
peran yang diberikan masyarakat dan adat serta budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Sehingga perlu dijelaskan lagi secara tepat tentang pengertian
gender.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,
Yogyakarta: Lembaga study Pengembangan Perempuan dan Anak, 1994
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Daradjat, Zakiah, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996
Lindsey, L, Gender Roles: a Sociological Perspective, New Jersey:
Prentice Hall, 1990
Lubis, Ridwan, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan,
Kesetaraan Gender dan Demokratisasi Masyarakat Multsikultural, Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005
Modul, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Sektor
Pendidikan, Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas bekerja
sama dengan CIDA melalui Women’s Support Project Phase II
Murniati, A. Nunuk P., Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera, 2004
Purwati,
Eni dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha,
2005
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005
Syukur,
Fatah, SejarahPendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012
Tobroni, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM,
Civil Society dan Multikulturalisme, Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007
Umar,
N., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001
Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Beserta Amandemennya, Solo: Adzana Putra, 2004
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986