Kamis, 05 November 2015

Pendidikan Islam dan Kesetaraan Gender



PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER

BAB I
  PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat sehingga perlu diaplikasikan, sebab pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi. Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia. Hampir semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Studi-studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini terdapatbeberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:
1.      Apa pengertian dan tujuan pendidikan Islam?
2.      Apa pengertian kesetaraan gender?
3.      Bagaimana konsep gender dalam Islam?
4.      Bagaimana kesetaraan gender dalam pendidikan?
5.      Apa tujuan pendidikan berspektif gender?
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1] Menurut Dzakiah Daradjat pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[2]
Pendidikan Islam menurut Arifin hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Sedangkan menurut Fatah Syukur memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi muslim yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia dunia dan akhirat. Karena pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga praktis, maka pendidikan Islam merupakan pendidikan iman sekaligus pendidikan amal.
Pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai standar dalam mengukur dan mengevaluasi tingkat pencapaian / hasil pelaksanaan pendidikan Islam, juga sebagai pedoman dan arah proses pendidikan Islam itu sendiri. Ada sejumlah pendapat mengenai tujuan pendidikan Islam, antara lain:
1.    Hasan Langgulung memberi pentahapan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga tingkat, yaitu:
a)      Tujuan tertinggi, tujuan ini bersifat mutlak, artinya tidak akan mengalami perubahan baik dalam dimensi ruang/waktu yang berbeda-beda. Tujuan ini lebih menekankan pada tujuan filosofis.
b)      Tujuan umum, tujuan ini lebih menekankan pada pendekatan empirik, artinya tujuan yang diharapkan dapat dicapai ketika proses pendidikan itu diterapkan, misalnya dalam hal perubahan sifat, kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dikatakan tujuan umum karena berlaku bagi semua peserta didik.
c)      Tujuan khusus, tujuan ini adalah perubahan yang diharapkan dari tujuan-tujuan umum secara lebih spesifik lagi. Tujuan ini merupakan gabungan pengetahuan, keterampilan, pola laku, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan tertinggi dan tujuan umum.
2.  Menurut Muhammad Athiyah al-Abrosyi, tujuan pendidikan Islam adalah membantu pembentukan akhalak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan hati untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu, menyiapkan pelajaran agar dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu agar dapat mencari rezeki, hidup mulia dengan tetap memelihara kerohanian dan keagamaan, serta mempersiapkan kemampuan mencari dan mendayagunakan rezeki.
3.    Ahmad D. Marimba, menyimpulkan tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim, yang didahului pencapaian tujuan sementara yaitu kecakapan jasmaniah, kemampuan membaca-menulis, pengetahuan, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan, kedewasaan jasmani dan rohani.[6]
Dari berbagai tujuan pendidikan Islam diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada dasarnya sama dengan tujuan umat Islam, yaitu untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

B.       Pengertian Kesetaraan Gender
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membahas masalah kaum perempuan adalah pemahaman terhadap konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pembedaan terhadap kedua konsep tersebut perlu dilakukan agar tidak ada kerancauan dalam pemahaman tentang gender dan ketidakadilan gender. Ketidakjelasan makna seks dan gender mengakibatkan timbulnya kekeliruan dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Seks (jenis kelamin)mempunyai arti pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.[7] Perbedaan jenis kelamin tersebut meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.[8] Seks (jenis kelamin) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tidak dapat dirubah. Berbeda dengan konsep seks, gender dipahami sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan padakebudayaan dan kehidupan kolektif. Sehingga gender juga dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya non biologis. Konsep gender tersebut mengacu pada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan). Pengertian gender tersebut berimplikasi pada munculnya pandangan bahwa perempuan memiliki sifat feminim, diantaranya lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki memiliki sifat maskulin, diantaranya dianggap sebagai pribadi yang memiliki karakteristik kuat, rasional dan perkasa. Pembedaan sifat laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya bisa saling dipertukarkan, artinya bisa saja laki-laki memiliki sifat yang lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara perwempuan mem[punyai sifat kuat, perkasa, rasional dan sebagainya.
Berbagai pengertian di atas menyimpulkan bahwa seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan aspek-aspek non biologis lainnya.

C.       Konsep Gender dalam Islam
Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat: 13, Al-Nisa':1, Al-A'raf:189, Al-Zumar:6, Fatir:11, dan Al-Mu'min: 67.
Di antaranya dalam al-Qur'an surat al-Hujurat: 13
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.
Senada dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Meskipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki.
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Namun dalam perkembangannya, kesetaraan gender ini belum sepenuhnya berlandaskan pada ajaran tersebut diatas. Bahkan antara satu negara dengan negara lainnya yang berpenduduk muslim tidaklah sama dalam memperjuangkan nasib perempuan. Hal ini terlihat dari keberadaan kaum perempuan di Indonesia yang masih menjadi subordit kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan tidak serta merta dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Hampir setiap budaya kita menempatkan laki-laki sebagai pemimpin baik dalam keluarga ,maupun berbangsa dan bernegara, meski juga diakui tidak semua budaya kita menjadikan perempuan dalam posisi kedua.

D.       Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender menuntut adanya suatu perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak dapat dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan tersebut diantaranya adalah:

1.    Marginalisasi terhadap perempuan
Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan kepinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Contoh marjinalisasi terhadap perempuan ini diantaranya: a) dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut mengambil keputusan dan pendapatnya jarang didengarkan, b) dalam keluarga perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami sekalipun suami tidak bisa memimpin, c) dalam diri perempuan sendiri terdapat perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri karena tidak percaya diri, dan masih banyak contoh lainnya.
2.    Steorotip masyarakat terhadap perempuan
Pandangan stereotip masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah mempunyai sifat masing-masing yang sepantasnya, sehingga tidak dapat keluar dari qodrat yang telah ada. Sebagai contoh: a) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak perempuan, pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus suami diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, b) kebanyakan perempuan memilih pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai seks tanpa mempedulikan kemampuan atau potensi sebenarnya yang dimiliki, c) jika seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, maka perempuan ini yang bertanggung jawab, karena ia keluar dari rumahnya, dan karena tugas seorang perempuan adalah tinggal di rumah, dan lain sebagainya.
3.    Subordinasi terhadap perempuan
Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari laki-laki, sehingg amenyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, nomor dua, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap perempuan tidak mampu berpikir seperti ukuran mereka, sehingga mereka selalu khawatir apabila memberi pekerjaan berat kepada perempuan.
4.    Beban ganda terhadap perempuan
Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama pengerjaannya bila diberikan kepada laki-laki, karena perempuan yang bekerja disektor publik masih memiliki tanggungjawab pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat diserahkan kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama perempuan.
5.    Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan psikis, seperti pelecehan, permintaan hubungan seks ditempat umum, senda gurau yang melecehkan seks perempuan. Dan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya.
Sementara itu dalam pendidikan dasar persamaan pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti perempuan-perempuan  harus putus sekolah karena diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi, anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender dapat juga disebut dengan istilah kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita dalam pendidikan, artinya pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dalam pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu bila ditinjau dari tinjauan Yuridis konsep pendidikan berperspektif gender telah dirumuskan oleh pemerintah, karena melihat kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender itu, dalam instansi pemerintah telah mengambil kebijakan, pendidikan yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang tertuang dalam:
1.    Konvensi Wanita Tahun 1981
Konvensi wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya adalah:
Pasal 1, “...istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2: mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan antara wanita dan pria.
Pasal 3: negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.
Pasal 4: pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 5: negara-negara peseta wajib wajib membuat peraturan-peraturan:
BAB III
PENUTUP
Pendidikan merupakan hak asasi manusia. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan baik bagi laki-laki maupun perempuan yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan gender dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah perbedaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender banyak terjadi dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya peran gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi perempuan.
Dalam Islam, Allah mewajibkan hambanya untuk memperoleh pendidikan yang tinggi, tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Antara laki-laki dan perempuan keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba yang ideal dalam hal ini adalah bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja. Demikian pula peluang untuk meraih prestasi maksimum dalam pendidikan terbuka lebar untuk laki-laki dan perempuan, yang membedakan adalah ketakwaannya dihadapan Allah. Isu kesetaraan gender seiring dengan perkembangan zaman yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi dan globalisasi informasi yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan berperan sama dengan kaum laki-laki. Pendidikan adalah produk konstruksi sosial, dan ada dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh. Hampir pada semua sektor seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena latar pendidikan yang belum setara.
Bias gender dalam bidang pendidikan dapat kita lihat misalnya pada kejadian anak perempuan yang masih menempuh jenjang pendidikan SMP/SMA yang hamil diluar nikah baik karena sengaja maupun kecelakaan dikeluarkan dari sekolah, sedangkan laki-laki yang menghamilinya tidak kena sanksi apapun. Selain itu anak perempuan yang sudah menikah tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan di SMP/SMA.
Begitu banyak isu kesetaraan gender yang diperbincangkan selama ini, namun bukti konkrit pencapaiannya masih tumpang tindih dan bias gender masih terjadi dimana-mana. Hal ini dikarenakan kurang pahamnya tentang pengertian gender ataupun peran yang diberikan masyarakat dan adat serta budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Sehingga perlu dijelaskan lagi secara tepat tentang pengertian gender.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,  Yogyakarta: Lembaga study Pengembangan Perempuan dan Anak, 1994
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Daradjat, Zakiah, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996
Lindsey, L, Gender Roles: a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990
Lubis, Ridwan, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi Masyarakat Multsikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005
Modul, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Sektor Pendidikan, Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas bekerja sama dengan CIDA melalui Women’s Support Project Phase II
Murniati, A. Nunuk P., Getar Gender, Magelang: Indonesia Tera, 2004
Purwati, Eni dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Alpha, 2005
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Syukur, Fatah, SejarahPendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012
Tobroni, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikulturalisme, Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007
Umar, N., Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001
Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Beserta Amandemennya, Solo: Adzana Putra, 2004
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986




Jumat, 23 Oktober 2015

PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI PADA GENERASI MUDA



PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI PADA GENERASI MUDA






Di Susun Oleh : Anuri
Dosen Pembimbing : Hadi Winarno, M. Pd







SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-MARHALAH AL’ULYA
KOTA BEKASI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Demokrasi dan Pendidikan “.
 Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi  penyempurnaan pembuatan makalah ini. Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga Allah memberikan pahala yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuanini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal‟Alamiin.












DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... 2
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN………………………….. .................................. 4
I.1. Latar Belakang ....................................................................................... 4
I.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 5
II.1 Pengertian Pendidikan Demokrasi.......................................................... 5
II.2 Hubungan Pendidikan dan Demokra ..................................................... 6
II.3. Tujuan Pendidikan Demokrasi ............................................................. 7
II.4 Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan di Indonesia .................................. 8
II.5 Penerapan demokrasi pendidikan ......................................................... 10
II.6 Permasalahan penerapan pendidikan demokrasi .................................. 10
II.7 Solusi menghadapi permasalahan penerapan pendidikan demokrasi....11
BAB III PENUTUPAN .............................................................................. 12
III.1 KESIMPULAN………….………………… ......................................12
III.3 DAFTAR PUSTAKA …………………………................................. 13







BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
 Negara-negara modern dewasa ini menggolongkan diri mereka ke dalam demokrasi, yaitu negara yang pemerintahanya dijalankan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”,sekalipun dalam mekanisme pemerintahanya baik yang menyangkut infrastruktur politik maupun suprastruktur politik, berbeda satu dengan yang lain. Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Tahukah anda apa itu demokrasi?? Dan bagaimana bentuk demokrasi itu dalam sistem suatu negara?? Dan apa pengaruhnya untuk dunia pendidikan?. Dalam makalah ini saya akan membahas permasalahan-permasalahan tersebut untuk menambah pengetahuan bagi para  pembaca makalah ini.
I.2. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari demokrasi dan pendidikan ?
2.      Apa yang dimakasud pendidikan demokrasi ?
3.      Apa manfaat pendidikan demokrasi untuk generasi muda ?
4.      Masalah apa saja yang menjadi penghambat demokrasi suatu negara?
5.      Bagaimana perkembangan demokrasi dan dunia pendidikan di Indonesia?


BAB II PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Pendidikan Demokrasi
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui  pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos dan Kratein.Demos berarti rakyat, sedangkan kratein berarti kekuasaan. Bentuk kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Pengertian demokratik di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun vertikal. Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Hal ini tercermin  pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sementara itu, demokrasi secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau  pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan  perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya). Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tutwuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya. Pendidikan demokrasi pada hakekatnya membimbing peserta didik agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, agar  perilakunya mencerminkan kehidupan yang demokratis. Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam  berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan  pengelola pendidikan. Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman yang kaya akan pendidikan demokrasi. Menurut Udin S. Winataputra, sejak tahun 1945 sampai sekarang instrument perundangan sudah menempatkan pendidikan demokrasi dan HAM sebagai bagian integral dari pendidikan nasional. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan  bahwa “Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung jawab”, yang kemudian oleh kementrian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan: “..untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat” dengan ciri-ciri sebagai berikkut: “Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; perasaan cinta kepada Negara; perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat; keyakinan bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus tunduk pada tata tertib; keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan keyakinan bahwa Negara memerlukan warga  Negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan”. Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa semua ide yang terkandung dalam butir- butir rumusan tujuan pendidikan nasional sesungguhnya merupakan esensi pendidikan demokrasi dan HAM.

II.2 Hubungan Pendidikan dan Demokrasi
Dalam perspektif studi cultural, system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu kebutuhan. System  Negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan demokrasi yaitu:
1. Pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat Masalah pendidikan tidak lepas dari kebudayaan suatu masyarakat dan politik di dalamnya. Proses pendidikan bersifat dinamis yang menggerakkan dan merubah nilai-nilai suatu masyarakat sesuai dengan perubahan kehidupan yang ada. Pendidikan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat lokal maupun nasional dengan dinamika yang ditentukan oleh kemampuan-kemampuan pribadi sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, tanpa pendidikan tidak mungkin suatu masyarakat dapat merubah budaya dan negaranya ke arah yang lebih baik.
2. Pendidikan sebagai pelaksana kekuasaan negara System pendidikan dapat merubah gaya hidup suatu masyarakat karena dapat merubah tingkah laku seseorang dalam berpikir yang lebih terbuka. Dalam pandangan studi cultural, peran Negara dapat bersifat positif apabila lembaga-lembaga pendidikan  juga mempunyai control terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara. Masyarakat berhak ikut serta dalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi lembaga pendidikan. Atas dasar tersebut, pembangunan suatu mayarakat hanya dapat terjadi apabila masyarakat itu sendiri mempunyai sikap demokratis, kesatuan bangsa atau nasionalisme, dan rasa persatuan. Masyarakat akan kritis terhadap kebijakan yang dimunculkan oleh penguasa. Dan dari sikap kritis tersebut akan menjadi benih bagi demokratisasi penyelenggaraan Negara.
3. Tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis Hakikat pendidikan demokratis sendiri adalah pemerdekaan. Sedangkan tujuan  pendidikan dalam suatu Negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan berbagai perbudakan lainnya. Hal ini sejalan dengan tujuan otonomi pendidikan yang memberdayakan manusia melalui otonomi lembaga-lembaga pendidikan di masyarakat baik dalam bentuk pendidikan Negara maupun  pendidikan swasta. Eksistensi pendidikan swasta menunjukkan dengan jelas bahwa antara politik dan pendidikan saling berkaitan. Keterkaitan ini menandakan bahwa  politik tidak lepas dari pendidikan dan demikian pula pendidikan tidak bisa lepas dari  politik. Seorang tokoh demokrasi dan pendidikan, John Dewey juga melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi, maka kita memasuki wilayah pendidikan. Menurutnya pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu pendidikan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari  penyelenggaraan Negara yang demokratis.
II.3. Tujuan Pendidikan Demokrasi
Tujuan pendidikan demokrasi adalah untuk mempersiapkan warga masyarakat  berpikir kritis dan berpikir demokratis. Namun demikian dalam Kaitan dengan pendidikan,  persoalan, yang muncul adalah mungkinkah pendidikan demokrasi dilangsungkan dalam suasana sekolah yang sangat birokratis, hirairkis-sentralistis dan elitis. Dengan demikian tampaklah bahwa demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam  berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengeola  pendidikan. Karena itulah demokrasi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas, patut selalu dianalisis sehingga memberikan manfaat dalam praktek kehidupan dan pendidikan yang paling tidak mengandung hak-hak sebagai berikut: Rasa hormat terhadap harkat dan martabat sesama manusia. Dalam hal ini demokrasi dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin  persaudaraan hak manusia dengan tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama dan bangsa.
Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat. Dengan acuan prinsip inilah yang melahirkan adanya pandangan bahwa manusia itu haruslah dididik, karena dengan pendidikanlah manusia akan berubah dan berkembang kearah yang lebih sehat dan baik serta sempurna. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, pengertian demokrasi tidaklah berarti dibatasi oleh kepentingan individu-individu lain, atau dengan kata lain bahwa seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya. Maka dari itu prinsip demokrasi pendidikan adalah sangat dipengaruhi oleh konteks dimana  pikiran itu ada, sifat dan jenis masyarakat apa yang melatarbelakangi masalah tersebut. masyarakat agraris berbeda dengan masyaraklat modern. Masyarakat pedesaan (prosentasi desa lebih besar daripada kota), akan juga berbeda adanya. Dalam kaitannya dengan prinsip- prinsip tersebut, ada 3 butir hal-hal sebagai berikut:
·         Keadilan dalam kesempatan belajar bagi semua warga negara, dengan cara adanya  pembuktian kesetiaan pada sistem politik yang ada.
·         Dalam rangka pembentukan pemerintahan nasional dan karakter bangsa sebagai  bangsa yang baik.
·         Suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional dalam rangka prinsip modernisasi  bengsa lewat pendidikan/perencanaan pendidikan.
II.4 Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Demokrasi pendidikan merupakan proses buat memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan kesempatan buat mendapatkan pendidikan di dalam masyarakat tertentu. Pelaksanaan demokrasi pendidikan di Indonesia pada dasarnya telah dikembangkan sedemikian rupa dengan menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam  pendidikannya, terutama setelah diproklamirkannya kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti berikut ini: Pasal 31 UUD 1945;
Ø  Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Ø  Ayat (2): pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian di negara Indonesia, semua warga negara diberikan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan, yang penyelenggaraan pendidikannya diatur oleh satu undang-undang sistem pendidikan nasional, dalam hal ini tentu saja UU nomor 2 tahun 1989.
UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional. Menurut UU ini, cukup banyak dibicarakan tentang demokrasi pendidikan, terutama yang berkaitan dengan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, misalnya:
Ø  Pasal 5; Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
Ø  Pasal 6; Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Ø  Pasal 7; Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang  bersangkutan.
Ø  Pasal 8; 1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh  pendidikan luar biasa. 2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh  perhatian khusus. 3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. pendidikan yang dimaksud adalah model  pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pebelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif, dan menantang aktualisasi diri mereka. Dalam konteks ini, proses belajar tidak lagi menjadi monopoli dosen maupun guru, tetapi menjadi milik  bersama dan menjadikan proses belajar sebagai wadah untuk dialog dan belajar bersama. Pendidikan model ini sangat relevan bagi pengembangan pendidikan demokraasi, yang biasa dikenas sebagai pendidikan kewargaan (Civic Education). Sebagai komponen warga negara, pengalaman mahasiswa dan siswa dalam praktik berdemokrasi di kelas akan sangat berharga bagi proses transpormasi nilai-nilai demokrasi dan HAM dalam kehidupan sosial. Kampus dan sekolah dengan demikian dapat berfungsi sebagai laboratorium dan katalis demokrasi. Tetapi, menjadikan kampus dan sekolah sebagai tempat pendadaran demokrasi tidak akan maksimal tanpa dukungan komponen civitas akademika, staf, karyawan, dan pimpinan.
Peran lembaga pendidikan tinggi sangatlah penting dan strategis dalam proses  pengembangan budaya demokrasi di kalangan generasi muda. sejarah telah membuktikan  bahwa mahasiswa adalah tulang punggung gerakan reformasi. mahasiswa tercatat sebagai kekuasaan genuine dari gerakan reformasi di indonesia. ketulusan, semangat, dan keberpihakan pada nasib rakyat dan masa depan indonesia telah menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan di indonseia yang selalu diperhitungkan dari masa ke masa.
II.5 Penerapan demokrasi pendidikan
Menurut Michael W.Apple dalam Dede Rosyada, ciri-ciri penerapan demokrasi  pendidikan sebagai berikut:
1.      Adanya keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah
3.      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang di keluarkan sekolah
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan persoalan- persoalan public
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan minoritas
6.      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokerasi yang di idealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokrasi
II.6 Permasalahan penerapan pendidikan demokrasi
Permasalahn Pendidikan di Indonesia Salah satu penghambat dalam pendidikan di Indonesia adalah munculnya beberapa masalah. Padahal pendidikan merupakan cara yang utama dalam peningkatan mutu SDM Indonesia. Kali ini masalah yang muncul dalam  pembahasan makalah demokrasi pendidikan di Indonesia meliputi : a. Rendahnya partisipasi masyarakatUUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan  pengendalian mutu pelayanan pendidikan.Setelah dijelaskan di atas tentang undang-undang yang menerangkan pentingnya partisipasi masyarakat. Tapi dalam praktiknya peran masyarakat dalam pendidikan rendah. Misalnya masih rendahnya pemikiran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, ada kalanya dalam hal kegiatan sekolah kadang kala orang tua kurang mendukung dalam kegiatan sekolah tersebut, dan lain-lain  b. Rendahnya inisiatif kebijakan yang kurang demokratis.
II.7 Solusi menghadapi permasalahan penerapan pendidikan demokrasi
Usaha Dalam Penyelesaian Permasalahan Pendidikan di Indonesia Dalam menyelesaikan permasalah pendidikan di Indonesia terdapat beberapa usaha, antara lain sebagai berikut : a. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan misalnya dengan penyempurnaan kurikulum ,pelaksanaan paradigma  pendidikan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan dasar Negara Indonesia yaitu pancasila yang didalamnya mengandung unsur–unsur pendidikan yang Berketuhanan, Berkemanusiaan, dan Berbudi pekerti luhur dengan diterapkannya paradigma ini maka demokrasi pendidikan akan dapat diwujudkan  b. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan misalnya kebijakan pemerintah dengan mencananangkan DANA BOS [bantuan operasional sekolah] ini sangat bermanfaat untuk  perbaikan gedung – gedung sekolah , menambah media belajar siswa ,untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai,menambah referensi buku– buku  perpustakaan , membuat laboratorium praktek sesuai standar selain DANA BOS ada juga  beasiswa bagi anak yang orang tuanya kurang mampu maupun anak yang berprestasi baik ,ini sangat membantu kelangsungan pendidikan mereka. c. Peningkatan relevansi pendidikan mengandung arti karena ada ketidakserasian antara hasil  pendidikan [output] dengan kebutuhan dunia kerja .Yang menjadi masalah utama karena ketrampilan yang di miliki tidak sesuai dengan yang dibutuhkan .Sehingga sekarang banyak  berdiri sekolah-sekolah kejuruan yang mencetak siswa untuk dapat mempunyai ketrampilan sesuai profesi yang diinginkan .Misal STM , SMK, Sekolah ketrampilan. d. Untuk mengatasi rendahnya kualitas guru pemerintah sekarang mengeluarkan kebijakan  bahwa guru SD minimal harus S1 [strata 1] dan dalam proses belajar mengajar harus sesuai
dengan kode etik guru untuk meminimalisir hal- hal yang tidak diinginkan,serta guru itu tidak hanya mengajar tetapi harus memberi contoh yang baik atau teladan bagi siswa – siswanya. e. Untuk mengatasi rendahnya kesejahteraan guru sekarang pemerintah menaikkan gaji guru ,  berupa gaji pokok,tunjangan yang melekat pada gaji ,tunjangan profesi dan lain – lain , sehingga dengan meningkatkan kesejahteraan guru diharapkan guru itu dapat mencintai  profesinya dengan utuh artinya guru itu tidak akan mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan jadi dapat berkonsentrasi dalam proses pendidikan khususnya proses  belajar mengajar.















BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Pendidikan dan demokrasi dalam kaitannya antara sistem Negara dan pendidikan merupakan system yang terintegrasi dalam system kekuasaan yang mempunyai hubungan erat, yaitu pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat, sebagai pelaksana kekuasaan Negara, dan tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis. Demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelolaan pendidikan tanpa memandang suku, kebangsaan, agama maupun ras. Juga tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.











 DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan Hasbullah, Dasar-Dasat Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999.
Tanlain Wens, Mpd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1992.
Wirojoedo Soebijanto, Teori Perencanaan Pendidikan, Liberty: Yogyakarta.